Minggu, 21 November 2010

Penjahat? (Bener ga' sich?)

Ayam berkokok, burung berkicau, udara dingin mengiringi terbitnya fajar di ufuk timur.  Tetesan air yang berangsur deras menyepikan aktivitas-aktivitas umat manusia.  Di sebuah tempat di pinggiran kota, aku kedinginan dan terbangun dari tidur panjangku.  Kucoba memfungsikan seluruh panca indera untuk membuktikan bahwa nyawaku masih betah tinggal di raga jangkungku.  Dinginnya air seakan menyelinap menembus kulitku.  Kuhirup udara, baunya semerbak menambah buruknya suasana.  Guntur-guntur bersahutan seakan menyela jiwa ragaku yang sudah genap berumur 18 tahun ini.  Air merah mengalir mengitari badanku yang seperti tengkorak ini.  Lalu terpusat pandangan mataku pada suatu bundaran yang melingkar di kaki kiriku, rasanya sakit menusuk sampai ke jantung.  Cacing ganas dan perut yang kosong menambah kepedihan dalam hidupku.  Sesekali pikiranku menerawang bahwa saat inilah nyawaku siap lepas landas meninggalkan bandara yang penuh dengan dosa.
Aku berguling-guling, berputar-putar, dan berteriak-teriak.  Akan tetapi, aku tidak mau mengucapkan kata tolong kepada orang-orang karena aku yakin bahwa tak seorang pun yang mengerti apa arti kata itu.  Dan aku percaya bahwa tak satupun rasanya orang yang sudi menolong seorang kutu busuk jahanam yang telah menjadi parasit di tengah-tengah kehidupan masyarakat.  Di kala ini, aku tersadar bahwa sekarang aku berada di sebuah tempat terpencil yang berada jauh dari keramaian.  Saat itu pula aku teringat bahwa sekarang aku adalah seorang buronan polisi semenjak hari kemarin.
“Aduuuh ... brengsek,  sakit sekaliiii ...,  enggak ada makanan lagi,” terucap di mulut hitamku.
Kuraba-raba setiap ruang di selembar pakaian yang kukenakan dengan harapan mendapatkan makanan.  Dan kutemukan juga sebongkah permen di kantong kiri celana jeansku bekas pesta malam tadi.  Rasanya pahit luar biasa, sama seperti kehidupan yang kualami sekarang ini.  Orang tuaku telah tiada, keluargaku juga tiada, aku hidup sebatang kara, tak seorang pun yang mau memberi kasih sayang dan melindungi diriku dalam mengarungi kehidupan, kecuali besi tajam, kain tebal, dan dinding kayu beratap kajang lapuk yang melindungi dan menemani di setiap waktu sedihku.
Tiba-tiba terdengar sebuah getaran yang diiringi oleh jejak langkah seseorang, semakin lama semakin kencang.  Alangkah terkejutnya hati kecilku ketika melihat sesosok manusia berjenggot putih tebal muncul dari mulut temanku.  Kupandangi seluruh tubuhnya, mukanya kulihat dengan saksama.  Tubuhnya bersinar sehingga  menyilaukan mataku seiring masuknya pancaran kemilau sang mentari melalui lubang-lubang gubuk reotku.  Ia memakai jubah putih, berkerudung putih sehingga mukanya tidak terlihat secara jelas.  Kemudian dia mengulurkan tangannya seakan ingin menjemputku untuk membantu diriku supaya bisa berdiri tegak kembali laksana batu karang yang tak goyah di tengah-tengah amukan gelombang-gelombang maut yang saling berkejaran. 
“Terima kasih ya Tuhan, Engkau menolongku dari kesusahan ini,” pikirku dalam hati.
Lalu tangan kiriku berusaha untuk meraih tangannya.  Namun, dia menarik kembali tangannya dari pandanganku.
“Ada apa ini?  Mungkin aku harus mengganti tangan kiri dengan tangan kanan untuk dapat meraih tangannya,” pikirku sejenak.
Setelah itu kembali dia mengulurkan tangannya yang tertutup jubah besarnya.  Kuulurkan tangan kanan untuk meraihnya.  Namun apa gerangan, apa daya tangan tak sampai, dia menghilang begitu saja dari pandanganku.  Tak terdengar sedikit pun suara getarannya, hanya serpihan-serpihan angin yang menggesek permukaan dedaunan yang terdengar.
“Kemana dia?  Mungkin dia adalah ....  Oh, itu tidak mungkin.  Itu mungkin hanya halusinasiku saja.  Tidak mungkin itu adalah malaikat Izrail.  Aku tak percaya itu.  Tapi biarlah, lupakan saja,” ucapku terkejut.
***
Aku berusaha bangkit untuk berdiri tegap kembali supaya bisa melakukan aktivitas rutinku yang telah dikontrak selama nyawaku masih melekat di raga yang penuh dengan kehinaan ini.  Kupersiapkan alat-alat perangku.  Kuambil sebuah pisau tajam dan kuletakkan di sebelah kiri celanaku.  Aku pun siap memulai hari yang penuh dengan kesuraman, penderitaan, dan pengkhianatan. 
Setiap hari aku bertarung melawan lapar yang membuat diriku melakukan banyak aksi kejahatan.  Merampok, mencuri, dan kebrutalan lainnya aku lakukan sendirian bersama topeng yang terpasang menutupi raut wajah seramku.  Seperih apapun luka yang kuderita takkan mengurung niat ganasku itu.  Ini kulakukan karena terpaksa hanya untuk menafkahi cacing yang berada di dalam diriku yang semakin menggerogoti daging tipis yang tersisa.  Dengan sebuah pisau tajam berukiran made in Indonesia di ujung mengkilapnya, kuhantui orang-orang dengan kekejaman yang tiada henti.
Ketika matahari sudah tepat berada di atas kepala, aku mulai melangkahkan kaki meninggalkan gubuk reot itu menuju pusat keramaian kota tanpa topeng pembalut muka.  Cuaca panas yang membakar kulit hitamku tak juga menyurutkan langkah tegapku.  Diperjalanan, mataku mengeker setiap rumah dan gerak-gerik orang-orang, mencari sasaran untuk menembakkan senjata pamungkasku.  Tanah becek dan bergelombang kujajaki dengan hati penuh harapan.  Tiba-tiba terlihatlah mangsa liarku pergi kesana kemari dengan perasaan yang gelisah.  Rasa lapar di dalam tubuhku menambah gairah untuk mendapatkannya.  Dari kejauhan, mata rajawaliku tak pernah menutup, mengintai sang wanita yang baru keluar dari sebuah ATM.  Kudekati dia perlahan-lahan dengan sikap yang tidak mencurigakan.   Ketika setengah tangan kiriku berhasil masuk ke dalam tas gantungnya, tiba-tiba badanku disekap dan didorong ke pinggiran trotoar oleh seseorang.  Terfokus diriku pada seseorang yang menyekapku tadi, tubuhnya basah penuh lumpur yang menjijikkan.
“Apa yang kau lakukan, bung?” tanyaku dengan muka yang garang.
“Apa ... Apa?”  
“Apa yang barusan kau lakukan kepadaku?” dengan ucapan perpatah kata.
“Aku mendorongmu untuk menghindari guyuran air yang disemburkan oleh sepeda motor yang barusan lewat.”
“Aaaaah ... alasan, bohong kamu?”
“Nih buktinya, badanku basah penuh lumpur.  Seharusnya kau berterima kasih padaku.”
“Aaaaah ... terima kasih, terima kasih, makan tuh terima kasih, brengsek kamu ya, siapa suruh kamu bantuin aku?”
Langsung saja kuambil pisau di balik bajuku, tanpa pikir panjang langsung saja kutusuk perut orang tadi.  Dan aku pun segera pergi dengan pisau yang pernah meringkus puluhan nyawa manusia.  Darah bersimbah, terus mengalir di sekitar badannya.  Kata tolong berusaha ia sebutkan.  Warga sekitar panik melihat kejadian seram itu, ada yang mengevakuasi, dan ada juga yang menghubungi pihak rumah sakit dan kepolisian.  Sedangkan aku berlari tunggang langgang berusaha menghindari tanggung jawab itu.  “Pisau merah” segera kumasukkan ke dalam celanaku untuk menghilangkan jejak langkahku.  Sirine ambulan dan polisi semakin lama semakin kencang membongkar sepinya suasana alam ini.
Tak ada jalan lain lagi, langsung saja aku masuk ke sebuah rumah yang pintunya terbuka lebar.  Alangkah terkejutnya hati besarku ketika bertemu dengan sang pemilik rumah berjenggot putih tebal seperti yang kutemui pagi tadi.  Akan tetapi kali ini mukanya terlihat secara jelas.  Ternyata pemilik rumah itu adalah seorang kakek tua yang sepertinya taat dengan agama.  Dipersilakannya aku untuk duduk di sofa empuknya.
“Ikam ini siapa, kenapa jadi keuyuhan kaya itu?” tanya kakek dengan logat banjarnya.
“Ulun disasahi polisi kai ai.”
“Kenapa bisa kaya itu?” tanya kakek kembali.
Pembicaraan terhenti saat aku memikirkan alasan yang akurat, rasional, dan menjanjikan.
“Eeemm ... ulun anu, ulun dituduh membunuh urang di muka komplek ini,” jawabku terbata-bata, “padahal kada kai ai.”
“Oooo... itukah masalahnya.  Cucuk haja aku dangar gaduh di muka sana, rami banar.”
Tiba-tiba seseorang memotong pembicaraan kami.
“Permisiii ...!
Bergegas sang kakek berlari siput menuju luar rumahnya.  Ketika kakek itu  sudah keluar dari pintu rumahnya, segera bertolak badanku dari sofa lembut itu menyelinap melihat hal yang terjadi di balik sebuah jendela mewah.
“Ada apa, pak?” tanya sang kakek.
“Kaya ini kek, adakah lakian surangan yang bukah laju banar lewat sini?” ucap pemuda yang datang tadi.
“Mohon maaf, ulun kada melihatnya.”
“Makasih ya pak.”
“Iih, sama-sama.”
Hatiku lega dan segera aku kembali ke sofa empuk tadi, seakan tidak mengetahui hal yang barusan terjadi.  Lalu sang kakek masuk kembali duduk berhadapan denganku.  Kutanya sesuatu hal yang barusan terjadi.  Sang kakek menjelaskan bahwa ada seorang lelaki mencari diriku.  Dan ia, sang kakek, memberitahukan hal yang bohong bahwa tak ada seorang pun yang melewati rumahnya.  Kemudian sang kakek pamit kepadaku untuk pergi ke dapur mengambil secangkir minuman.  Di saat inilah, ketika sang kakek berada di dapur, kuamati setiap sudut rumah ini dengan teliti, guci-guci bersandar rapi, benda-benda elektronik bertebaran di berbagai tempat, dan hiasan-hiasan menambah asrinya ruangan yang luas ini.
Setelah beberapa menit berlalu terlihatlah sesosok manusia berjenggot membawa secangkir minuman dari kejauhan menuju ke arahku.
“Ini nah nak, kinum gin banyunya.”
“Inggih kai ai.”
Kuminum air tadi dengan sekali tegukan yang langsung melepaskan dahagaku karena kecapekan.  Setelah air itu habis dan kupikir orang-orang sudah tiada, segera aku berpamitan pulang pada sang kakek untuk kembali kepada temanku yang sudah tua.  Diperjalanan, tak seorang pun yang menghambat setiap langkahku sampai tepat berada di dalam tempat persembunyianku.  Aku terbaring kelelahan begitu saja, siap tertidur sebagai suplemen bekerja nanti malam.
***
Ketika malam kian kelam, bulan purnama sudah mencakar langit, suara-suara hewan nocturnal bersahutan, aku berjalan keluar dari dalam “perut” temanku melaksanakan misi hitam yang ke-100.  Terbayang di benak hitamku sebuah hadiah besar yang akan kuterima di hari ulang tahunku ini.  Ketika tepat di depan sasaran, terlihatlah sebuah hadiah yang sangat besar menanti genggaman tanganku.  Kupandangi suasana sekitar dengan saksama.  Saat kupikir keadaan sudah aman, barulah kubuka sebuah pintu dengan alat perangku tanpa mengeluarkan banyak suara yang bisa mengganggu kepulasan tidur orang-orang di malam hari.  Dengan waktu yang singkat, berhasil kubuka gerbang masuk ke dalam sebuah hadiah besar.  Kakiku berjingkat pelan supaya tidak mengganggu heningnya malam itu.  Pisau tajam yang aku miliki, kugenggam di tangan kiri siap menerjang siapapun yang mengusik diriku.  Kuambil setiap benda berharga yang bisa kubawa dengan ringkas dan praktis.  Tapi, tiba-tiba seekor tikus menghentikan gerak gerikku.  Ia menggigit luka bekas tembakan polisi semalam.  Pisau di tanganku langsung melayang ke arah tikus tadi.  Badan dan kepalanya terpisah satu sama lain.  Rasa sakit membuat emosiku tidak terkendali.  Tanpa disengaja, kata aduh terucap dari mulut besarku.  Namun, hal ini tak merubah heningnya malam pada kondisi sebelumnya.  Kulanjutkan pekerjaanku dengan perasaan tanpa kekhawatiran.  Tapi, seseorang tiba-tiba memukul sekujur kepala belakangku dengan benda yang teramat keras.  Aku pingsan dan tersungkur begitu saja. 
Tiba- tiba aku melihat sebuah rumah sakit megah yang di dalamnya ada seorang wanita yang tengah berusaha melahirkan seorang anak.  Muka wanita itu pucat pasi dengan bersimbah air menutupi permukaan wajah cantiknya.  Tak lama waktu berjalan, seorang bayi kecil mungil keluar dan menangis kencang.
“Anak ibu seorang laki-laki sehat, tidak cacat sedikit pun,” kata sang perawat yang sedang mengevakuasi bayi berdarah itu.
“Terima kasih ya Tuhan, engkau telah mengabulkan doaku,” kata sang ibu dengan senyum gembiranya. 
Seorang lelaki yang berada di sampingnya juga mengucapkan hal yang sama bersyukur kepada Yang Maha Pemberi.  Setelah waktu dua hari terlampaui, ayah, ibu, dan bayi tadi sudah berada di sebuah rumah megah penuh dengan pepohonan yang rindang menghiasi  seluruh halamannya.  Ternyata bayi tadi adalah seorang anak pertama yang dimiliki oleh sebuah keluarga kaya.  Alangkah senangnya lelaki dan wanita penghuni bangunan megah itu menyambut kedatangan si buah hati.
Saat usianya beranjak 4 tahun ia bersekolah di sebuah taman kanak-kanak.  Ia bermain ceria bersama teman sebaya dan guru yang ada di dalam kelasnya.  Di usianya yang ke-6 ia merasakan asyiknya berseragam merah putih, menimba pengetahuan yang lebih tinggi.  Kemudian ia berseragam SMP berwarna biru putih.  Di sini ilmu pengetahuan ia cari semaksimal mungkin, tidak mau dia menyia-nyiakan satu ilmu pun.  Dan terbukti hasil jerih payahnya, berkali-kali ia dinobatkan sebagai sang juara olimpiade tingkat kota, provinsi, nasional, bahkan kelas internasional.  Berbagai penghargaan terpampang menghiasi setiap dinding rumahnya. 
Tetapi di sinilah, di bangku SMA, keluarganya mulai kurang harmonis, orang tuanya bercerai, ia diasuh oleh ibunya seorang.  Tak ada lagi pemasukan untuk menghidupi mereka berdua karena ayahnya merupakan tulang punggung mereka.  Akan tetapi ibunya berjanji untuk menyekolahkannya sampai selesai.  Dan hal ini membuat ibunya mencari alternatif pekerjaan untuk menghidupi cacing yang berada di dalam setiap daging mereka.  Menjadi pedagang kain adalah satu-satunya pondasi untuk membangun kekuatan raga mereka.  Anak itu selalu membantu ibunya dalam bekerja setiap hari.  Kegigihan dan berusaha adalah pedomannya.  Mereka hidup sejahtera berkat kerja keras mereka yang membuahkan hasil yang sangat sempurna yaitu mereka menjadi pedagang sukses yang terkenal di seluruh pelosok dunia atas kain eksotis yang mereka jual.
Namun ketika anak itu menginjak usianya yang ke-17, saat duduk di tengah-tengah bangku SMA, kehidupan mereka berubah drastis.  Ibunya sering terserang berbagai penyakit.  Dan semua sektor sumber pemasukan mereka terbengkalai karena tidak ada lagi yang mengurusi dagangan mereka.  Semua harta yang mereka miliki habis digunakan untuk berobat semaksimal mungkin demi kesembuhan sang ibu.  Rumah megah semakin menyusut menjadi rumah sederhana dan berubah lagi menjadi rumah miskin dengan halaman semrawut, angker, dihiasi dengan pepohonan kuning menjulang tinggi. 
Seiring waktu berlari, kehidupan mereka terus memburuk.  Sampai pada akhirnya, sebuah kolong jembatan dijadikan sebagai tempat bernaung mereka.  Tidak seorang warga pun yang tersentuh hatinya untuk membantu meringankan beban mereka.  Sedangkan ayahnya tidak tahu pergi entah kemana semenjak perceraian itu.  Dan hati sang anak semakin terpukul setelah satu-satunya penopang ekonomi yang sangat ia cintai, tewas terserang penyakit yang sangat sulit untuk disembuhkan, penyakit yang tidak memiliki obat penyembuhnya.  
Lalu dia hidup sebatang kara.  Tak ada lagi yang melindungi dan memberi kasih sayang kepadanya.  Perekonomiannya semakin melemah akibat dari terbengkalainya pekerjaan berdagang ibunya.  Oleh karena itu, hal ini membuat dia bertekad dan berjuang secara gigih untuk bisa hidup mandiri dan berpikir untuk meneruskan pekerjaan ibunya menjadi seorang pedagang kain eksotis yang belum diketahui namanya. 
Selain bekerja menjadi pedagang, bersekolah pun tetap ia jalani berkat program pendikikan gratis yang dilancarkan oleh pemerintah.  Dan di sekolahnya itu pun tak luput menjadi tempat pemasaran kain eksotisnya.  Semua warga sekolah menyukai barang tersebut dan banyak orang yang berperan sebagai konsumennya.  Hingga suatu ketika seorang guru kesenian bertanya kepada dia mengenai kain itu,
“Bagaimana cara membuatnya nak?” tanya sang guru.
“Caranya mudah saja bu.  Pertama-tama kita harus menyiapkan bahan dan alatnya berupa kain putih, jarum, benang, kertas tebal bermotif, baskom, pewarna kain, sendok kayu, pensil, dan air panas,” jawabku.
“Setelah itu?”
“Kedua, gambar motif yang diinginkan di atas kain putih, lalu jelujur semua garisan motif yang ada di kain dengan benang yang kuat.  Selesai dijelujur, benang jelujuran ditarik seerat mungkin, hingga kain mengerut dan tak bisa dibuka.  Ikat kuat-kuat.  Perlu diingat, semakin kuat tarikan, semakin bagus hasilnya. Karena, tarikan yang tak kuat, bisa memungkinkan air masuk ke dalam jelujuran, dan jika terjadi hal demikian akan berdampak jelek dengan hasil akhirnya.  Setelah terikat kuat, celuplah kain tersebut ke dalam air panas yang sudah diberi pewarna.  Kemudian aduk hingga merata menggunakan sendok kayu supaya tangan tidak melepuh terkena air panas.  Setelah diyakini pewarna sudah merata, tiriskan kain tersebut dan biarkan air turun dengan sendirinya.  Setelah tiris, buka jahitan dengan hati-hati, karena ketidakhati-hatian bisa menyebabkan kesobekan pada kain.  Setelah semua jelujuran lepas, kibas-kibaskan kain, lalu jemur di tempat teduh. Namun, jangan menjemur di tempat panas karena penjemuran di tempat panas, mengakibatkan warna menjadi pudar.  Dan terakhir, setelah kain benar-benar kering, setrikalah kain itu,” uraiku panjang lebar.
”Lantas apa nama kainnya?”
”Untuk sekarang, saya belum memikirkannya.”
”Bagaimana kalau kain sasirangan yang diambil dari namamu, Sasir, dan nama ibumu, Angan?” usul guruku.
”Eeeeem ... boleh juga,” sambutku dengan ceria.
Lalu terciptalah sebuah nama untuk kain eksotis peninggalan ibuku yaitu “kain sasirangan”.  Akan tetapi, setelah beberapa waktu berjalan, berita pahit muncul kembali.  Prestasi belajarnya terus menurun.  Pola hidup yang tidak sehat mulai terjadi di penghujung ia mencicipi bangku SMA dan pada saat yang bersamaan ia berkenalan dengan remaja yang kurang baik.  Narkoba, psikotropika, dan zat adiktif ia konsumsi setiap hari.    Bangku kuliah tidak berhasil ia jajaki setelah ia dikeluarkan dari SMA karena telah membobol keperawanan seorang gadis, dan melakukan pesta narkoba di hari ulang tahunnya yang ke-18. 
Waktu terus bergulir menambah buruk kehidupannya.  Semakin hari semakin bertambah catatan tindak kriminal yang dikerjakannya.  Lalu terhentilah kisahku sampai di sini karena aku terbangun dari pingsanku di sebuah kamar bersih, indah penuh keasrian yang menyambut datangnya kemilau sang mentari.  Tidak lama kemudian, pintu kamar bergetar dan jejak langkah pun mulai terdengar.  Semakin lama semakin kencang, ternyata itu adalah orang yang aku rampok malam tadi.  Kupandangi seluruh tubuhnya, mukanya kulihat dengan saksama.  Lalu bertolak badanku dari kasur lembut tadi mencekam uluran tangan lekaki tua berjenggot itu, seraya ingin memeluknya erat-erat.
Akhirnya aku keluar dari ruangan tadi sambil melihat tulisan yang terpampang di atas pintu keluarnya.  Terlihat jelas tulisan yang berwarna merah dan besar yang bertuliskan “Kamar Jenazah”.  Aaaarggghhhh ...!  “Aku gagal.”  Aku takut dan berlari menuju sebuah rumah megah yang sangat besar di ujung jalan sana dengan langkah pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar